Mr. Gates berbicara dalam forum TED tentang visinya ke depan untuk menurunkan kadar emisi karbon menjadi sebesar 0%. Untuk mencapai visinya tersebut, Mr. Gates mengadakan sebuah riset yang ia namakan Terrapower. Bentuk utama Terrapower sendiri adalah sebuah power plant bertenaga nuklir, namun yang spesial dari reaktor tersebut adalah bahan bakarnya.Berbeda dengan reaktor nuklir biasa yang menggunakan U-235, bahan bakar utama Terrapower adalah U-238 yang biasa disebut dengan “nuclear waste” atau sampah nuklir.

Dalam sebuah uranium alami terkandung 0.71% U-235, 99.28% U-238, dan 0.0054% U-234. Dengan kata lain saat sebuah reaktor nuklir biasa mendapatkan 1kg uranium murni, ia hanya menggunakan 0.0071 kg-nya sedangkan 0.99kg sisanya menjadi sampah (biasa dikenal dengan depleted uranium).

Nuclear Waste at Kentucky

Nuclear Waste at Kentucky

Jumlah nuclear waste tersebut sudah mencapai ribuan tangki (dapat dilihat di gambar di atas) di Amerika, belum lagi negara-negara lain yang menggunakan energi nuklir. Maka dari sanalah muncul ide untuk memanfaatkan sampah2 nuklir tersebut menjadi salah satu penghasil energi alternatif.

Sebuah ide yang brilliant dari salah satu visioner di abad ini. Dan bukan tidak mungkin kalau Terrapower (Intellectual Ventures) mengalami kesuksesan yang sama dengan Windows (Microsoft) mengingat kebutuhan akan energi yang semakin naik serta tingginya kadar emisi CO2 yang dihasilkan energi lain.

Setelah pada posting sebelumnya saya memuat tentang ancaman dari penyalahgunaan data, khususnya data mining. Kali ini saya akan membahas mengenai apa saja usaha yang telah dilakukan Pemerintah Amerika dalam melindungi data dan privacy para penduduk mereka.

Salah satu hal yang dilakukan pemerintah AS adalah dengan membuat undang-undang akan data tersebut. Berikut adalah beberapa undang-undang yang telah diterbitkan:

Health Insurance Portability and Accountability (HIPPA) Act of 1996

Salah satu jenis data yang paling privacy dan wajib dilindungi adalah Medical Record atau rekam medis seseorang. Mengapa demikian? Pernahkah anda membayangkan jika anda divonis AIDS dan ternyata setiap orang yang anda temui mengetahui anda AIDS? Sungguh tidak nyaman bukan?

Tidak hanya itu pula, rekam medis juga memuat tentang penyakit-penyakit yang pernah kita derita. Bayangkan jika sebelumnya kita pernah terkena penyakit raja singa, dan orang lain mengetahuinya. Walaupun penyakit kita sudah berhasil disembuhkan, namun prasangka negatif orang akan penyakit kita pasti akan tetap ada.

Hal tersebutlah yang membuat pemerintah AS, menerbitkan undang-undang HIPPA (Health Insurance Portability and Accountability) dengan tujuan memberikan beberapa standard mengenai perlindungan privacy dalam rekam medis seseorang. HIPPA Act ini juga melindungi akses seseorang akan rekam medisnya, sehingga mereka mendapatkan kontrol terhadap penggunaan rekam medis mereka serta memungkinkan mereka untuk mengubahnya jika terjadi kesalahan.

Leach-Bliley Act
Pada undang-undang ini, informasi finansial menjadi subyek utama yang dilindungi. Leach-Bliley Act menyatakan bahwa institusi keuangan harus bertanggung jawab atas perlindungan data-data dari transaksi yang muncul setiap harinya, misalnya nama, alamat, nomer akun kartu kredit, dan juga income history (catatan mengenai pendapatan seseorang). Data-data tersebut disadari sangat penting, karena bila sampai bocor dapat menimbulkan tindak kriminal yang akan merugikan sang pemilik data dan juga institusi keuangan. Misalnya dengan bocornya data tersebut, orang lain bisa melakukan identity fraud, sehingga ia dapat menggunakan seluruh uang yang ada di rekening kita.

Selain melindungi keamanan informasi, undang-undang ini juga menyatakan bahwa institusi keuangan harus dapat memberikan rencana tertulis tentang program yang mereka lakukan untuk melindungi data dan informasi customer yang ada pada mereka (FTC, 2002).

Children’s Online Privacy Act (COPPA) of 1998
COPPA
mengatur tentang perlindungan informasi-informasi pribadi anak yang berumur dibawah 13 tahun dan diambil secara online.Dengan adanya COPPA, pemilik website wajib mencantumkan statement pada website, akan informasi apa saja yang dikumpulkan dari sang anak, dan juga untuk apa saja informasi tersebut digunakan. Selain itu, pemilik website juga wajib memberitahukan apakah informasi tersebut dapat diakses oleh pihak selain pemilik website tersebut, dan juga data tentang contact pemilik website (agar orang tua dapat menghubunginya)

Rules from FTC (Federal Trade Commission)

FTC (Federal Trade Commission), yang ditunjuk sebagai satu-satunya badan yang mengatur tentang privacy dan informasi individu pada internet di Amerika Serikat, menyatakan empat hal yang perlu dipenuhi website dalam hal pengumpulan informasi customernya. Hal-hal tersebut adalah
Notice and Awareness : Website harus dapat memberitahukan bagaimana proses pengumpulan data dilakukan dan bagaimana mereka (pemilik) menggunakan informasi dari data-data user tersebut

Choice and Consent : Pengguna online harus diberikan hak memilih dan hak untuk memberikan izin tentang bagaimana data mereka digunakan

Access and Participation : Pengguna harus diberikan akses untuk dapat melakukan perubahan jika terjadi kesalahan pada data yang ada. Hal ini bermanfaat ketika sang pengguna salah mengisi data, ataupun ada hal sensitif pada data yang tidak ingin ditampilkan user.

Security and Integrity : Website harus dapat membuat langkah-langkah dalam melindungi keamanan dan integritas data yang telah dikumpulkan. Langkah-langkah tersebut kemudian diserahkan kepada FTC.

Di Indonesia sendiri sudah ada undang-undang yang mengatur kerahasiaan Rekam Medis (UU No 29/2004 Pasal 47 ayat (2) ) dan juga undang-undang tentang kerahasiaan data finansial (Undang-Undang Perbankan), yang melindungi informasi-informasi sensitif pada data keuangan dan medis kita.Belum adanya badan khusus yang mengatur tentang kerahasiaan informasi seperti FTC (masih terpisah-pisah), membuat kita agar lebih waspada untuk tidak menyerahkan data kita kepada sembarang pihak, apalagi data-data sensitif seperti yang dijelaskan di atas.

Setelah sebelumnya saya membahas mengenai data mining dan kegunaannya bagi perusahaan. Sekarang saya akan membahas mengenai salah satu efek data mining, khususnya bagi Customer.

Effect of Data Mining to Customer


Penggunaan data mining tersebut ternyata dapat menjadi ancaman bagi individual privacy. Hal itu dikarenakan kemampuannya untuk menemukan individual pattern dan mengklasifikasikannya berdasarkan kategori-kategori tertentu, yang teryata bisa memperlihatkan informasi-informasi pribadi (confidentional) akan seorang customer.

Sebagai contoh, dari data belanja kita per bulan (misalnya dari struk belanja), perusahaan retail (sebagai contoh Wallmart) mendapatkan informasi akan apa yang kita beli setiap bulannya dan kecenderungan barang yang kita pilih tiap bulannya. Belum lagi jika kita menjadi member, tentunya perusahaan akan menyimpan data-data kita seperti nama dan KTP. Kedua hal tersebut menjadi sedikit mengkhawatirkan, jika barang-barang yang kita beli berhubungan dengan privasi kita, sebagai contoh adalah kondom.

Bukan mustahil ketika anda sedang berbelanja bersama orang tua anda, sang kasir yang tidak anda kenal dan tidak anda temui ketika membeli kondom menawarkan kepada anda promo kondom yang sedang ada bulan itu. Hal tersebut dikarenakan, setelah data pembelian anda dan data pribadi anda diolah melalui Data Mining, hasil output menyatakan bahwa kecenderungan pembelian anda pada bulan tersebut adalah kondom dan saat itu sedang ada promo kondom. Sungguh sebuah hal yang sangat mengganggu privasi kita bukan?

Belum lagi pengelompokkan pattern-pattern tersebut bisa menimbulkan stereotype akan isu-isu negatif jika dikaitkan dengan variable-variable seperti ras, gender, maupun agama. Misalnya saja data mining untuk mengetahui tingkat kepintaran (intelligence) berdasarkan ras (Estivill-Castro, Brankovic, & Dowe, 1999). Walaupun data yang dikumpulkan benar dan algoritma yang digunakan pada data mining juga tanpa cacat, namun hasil pengelompokan tersebut dapat menimbulkan efek negatif karena kita sama saja memilah-milah mana ras dengan tingkat kecerdasan tinggi dan mana ras dengan tingkat kecerdasan rendah.

Less Control to Our Data

Efek negative tersebut ternyata bertambah meresahkan seiring dengan berkurangnya hak pemilik data akan data tersebut. Sebagai contoh ketika seseorang memberikan datanya kepada bank untuk dapat menjadi nasabah bank tersebut, maka data yang diterima bank dari Customer tersebut akan menjadi asset perusahaan. Lalu bagaimana ketika bank tersebut bankrut? Sebagaimana layaknya aset lain yang dimiliki bank, data tersebut dapat dijual oleh bank untuk melunasi hutangnya kepada pihak lain.

Kemudian bagaimana nasib nasabah jika data itu dijual? Sang nasabah pun akhirnya tidak memiliki control apa-apa terhadap data tersebut, apa lagi merubahnya. Bayangkan berapa banyak sales kartu kredit yang akan menelpon kita atau bahkan datang kepada kita, karena data kita diperjual-belikan secara bebas. Privasi kita akan data-data tersebut tentunya akan hilang, karena data tersebut sudah mengalir tidak hanya dalam satu perusahaan tetapi sudah ke perusahaan lain juga.

Hal  tersebut bertambah mengkhawatirkan jika kita melihat data penjualan data akhir-akhir ini. Di amerika sendiri hampir 400 juta credit records, 700 juta drug records, 100 juta medical records, dan 600 personal records diperdagangkan tiap tahunnya oleh lebih dari 200 badan superbody. Beberapa record tersebut terdiri dari bank balance, rental histories, pembelian retail, criminal records, unlisted phone number, serta daftar panggilan terakhirnya (Estivill-Castro et al.,1999).

Lalu bagaimana kita dapat melindungi data tersebut, pemerintah sebagai pihak berwajib harusnya dapat membuat undang-undang khusus yang mengatur perdagangan data tersebut. Hal ini lah yang dilakukan pemerintah Amerika, untuk melindungi privasi data pada seluruh penduduknya.

Lalu apa saja undang-undang yang diterbitkan pemerintah AS untuk melindungi warganya? Hal tersebut akan dibahas pada postingan berikutnya..

YES

May 2nd, 2010

John Lennon pernah bercerita, kenapa dia bisa jatuh cinta ma Yoko Ono.
Waktu itu John Lennon sedang menghadiri pameran seni Yoko Ono.
Kemudian, setelah lama berkeliling ia menemukan sebuah benda aneh yang menurutnya tidak memiliki nilai seni sama sekali.
Mr. Lennon pun bingung.

Dia mengamati sebuah tangga yang tepat di atas tangga tersebut tergantung sebuah kaca pembesar. Setelah lama mengamati akhirnya Mr. Lennon pun penasaran, dan berusaha naik ke atas tangga untuk mengamati loop yang tergantung di atasnya.

Sesampainya di atas, Mr. Lennon melihat sebuah titik hitam kecil. Ia pun akhirnya mengambil kaca pembesar di sampingnya, dan memperhatikan titik kecil tersebut. Ternyata titik tersebut adalah sebuah kata, sebuah kata yang sangat singkat namun memiliki arti yang dalam:
YES

Mr. Lennon pun merinding sejenak. Ia kemudian melihat ke sekeliling, dan dibawahnya berdiri Yoko Ono, sedang tersenyum kepadanya.

Yang pengen gw bahas dari cerita di atas bukan tentang cerita cinta John dan Yoko, tapi lebih tentang karya Yoko tersebut:

Coba deh lo perhatikan dengan detail, Kenapa harus menaiki tangga? Kenapa harus melihat dengan kaca pembesar?Kenapa mesti YES?

Dan kini gw dapet jawabannya.

Karena jika tulisan YES tersebut dibuat besar dan semua orang dapat melihatnya maka tulisan tersebut tidak bernilai sama sekali. Yoko berusaha menganalogikan bagaimana seseorang yang akhirnya bisa berkata YES ketika mencapai tujuannya dengan susah payah (menaiki tangga, dan melihat dengan kecil). Karena sesungguhnya, kepuasan itu akan lebih bernilai jika ia susah terlihat dan membutuhkan usaha untuk melihatnya.

Kesuksesan dan kepuasan, tidak lain adalah sebuah titik hitam kecil dilangit-langit. Dimana kita harus berusaha memanjat dan melihatnya dengan menggunakan kaca pembesar. Sebuah analogi yang jenius.

YES YES YES

Life give us too much freedom, but not enough options

Vincent James Alia

“Your customers are not your customers. You are merely their caretaker until one of your competitors can provide and communicate a better offer” (Berson et al., 1997)

Kalimat tersebut membuat kita sadar, bahwa di era informasi saat ini persaingan yang ada benar-benar bertambah ketat. Kini perusahaan menyadari bahwa untuk dapat tetap kompetitif, mereka harus dapat memahami Customer mereka serta merespon keinginan mereka dengan cepat dan lebih baik. Namun hal tersebut menjadi lebih sulit, dikarenakan bertambah kompleksnya situasi yang dipicu oleh bertambahnya customer serta produk dan berkurangnya waktu untuk bereaksi. Belum lagi berkembangnya teknologi, seperti Internet, membuat kompetisi semakin global dan perusahaan harus bergerak semakin cepat. Atas dasar itulah banyak perusahaan menggunakan tools dan metode terbaru untuk memperbaiki customer service yang ada serta mengurangi cost, salah satunya melalui sistem pengkoleksian dan analisis data yang biasa disebut Organizational Data Mining.

Data Mining- Background Story

Dahulu proses analisis data dilakukan melalui survey pasar dengan menghabiskan waktu dan effort yang cukup besar. Hal tersebut dikarenakan keseluruhan proses dilakukan secara manual oleh karyawan perusahaan. Belum lagi kurangnya akurasi data, dikarenakan human error serta terbatasnya kemampuan karyawan, membuat proses analisis data semakin sulit untuk dilakukan.

Kini dengan berkembangnya teknologi, perusahaan dapat melakukan proses tersebut lebih cepat. Adanya automasisasi yang dilakukan oleh teknologi dapat mempercepat proses dan juga mengurangi pekerjaan karyawan. Belum lagi dengan semakin berkurangnya harga untuk data storage semakin memotivasi perusahaan untuk mengumpulkan data. Ditambah dengan adanya internet, perusahaan kini dapat mengkumpulkan data dan melihat pattern-pattern pada user tanpa sepengetahuan user.

What Company Get?

Dengan menggunakan data mining, perusahaan dapat melihat kecenderungan-kecenderungan dari Customer sehingga ia bisa memfokuskan marketing maupun advertisingnya. Perusahaan juga dapat melihat produk-produk mana saja yang menarik bagi Customer, sehingga ia dapat menentukan strategi ke depan mengenai produk tersebut. Sebagai contoh adalah fitur Recommended Book pada Amazon.com yang menggunakan data mining untuk mengajukan buku mana yang mungkin Customer akan tertarik untuk membelinya (Information and Privacy Commissioner, 1998).

Contoh lain adalah penggunaan data warehouse untuk mendeteksi customer buying pattern pada tiap supermarket Wal Mart. Hal tersebut memungkinkan Wal Mart untuk menyediakan supply yang berbeda bagi tiap supermarketnya, berdasarkan barang yang paling disukai masing-masing customernya (Information and Privacy Commissioner, 1998).

Dengan menggunakan data mining, perusahaan dapat menentukan strategi apa yang tepat untuknya. Strategi tersebut kemudian dapat diimplementasikan dengan service yang lebih baik kepada customer, promo yang sesuai dengan harapan customer, maupun pengembangan product berdasarkan tren pembelian customer. Semua hal tersebut dapat menambah loyalitas konsumen kepada perusahaan dan juga menambah jumlah pelanggan baru yang mengakibatkan bertambahnya revenue perusahaan.

Dan kata-kata Berson di awal pun kini berubah:

“Your customers are always your customers, because you always communicate a better offer- and that’s can happen by using data mining”

Kalimat tersebut membuat kita sadar, bahwa di era informasi saat ini persaingan yang ada benar-benar bertambah ketat. Kini perusahaan menyadari bahwa untuk dapat tetap kompetitif, mereka harus dapat memahami Customer mereka serta merespon keinginan mereka dengan cepat dan lebih baik. Namun hal tersebut menjadi lebih sulit, dikarenakan bertambah kompleksnya situasi yang dipicu oleh bertambahnya customer serta produk dan berkurangnya waktu untuk bereaksi. Belum lagi berkembangnya teknologi, seperti Internet, membuat kompetisi semakin global dan perusahaan harus bergerak semakin cepat. Atas dasar itulah banyak perusahaan menggunakan tools dan metode terbaru untuk memperbaiki customer service yang ada serta mengurangi cost, salah satunya melalui sistem pengkoleksian dan analisis data yang biasa disebut Organizational Data Mining.

Have you ever watch enemy of the state? Di film tersebut Will Smith, sang aktor utama, dikejar-kejar oleh pemerintah Amerika (NSA) karena mengetahui sebuah skandal yang dilakukan petinggi NSA. Namun hal yang patut kita perhatikan sebagai insan technology adalah surveillance tools yang digunakan untuk menemukan Will Smith, mulai dari satelit hingga kamera-kamera yang ada di toko bisa diakses oleh pemerintah AS.

Dan ternyata, berdasarkan sebuah jurnal yang saya baca, alat mata-mata bagi pemerintah pun berkembang pesat, khususnya di bidang IT. Tercatat beberapa alat yang pernah digunakan pemerintah AS dalam melakukan kegiatan surveillance, yakni:

Carnivore

Carnivore adalah sebuah software yang dibuat oleh FBI untuk memonitor aktivitas illegal pada internet. Carnivore bekerja dengan memeriksa seluruh paket-paket IP yang beredar melalui jaringan Ethernet. Paket-paket tersebut kemudian dideteksi apakah mengandung keyword atau parameter tertentu, sesuai yang ditentukan FBI. FBI menyebut kemampuan Carnivore itu dengan istilah Surgical Ability.

Namun surgical ability ini masih menjadi tanda tanya besar, karena beberapa pihak yang sudah mengaudit carnivore, seperti Illinois Institute of Technology Research Institute (IITRI), AT&T Laboratories, serta University of Pennsylvania masih meragukan Surgical Ability dari Carnivore.

DIRT

Dirt adalah sebuah Trojan Horse (program yang menginfeksi komputer tanpa user permission) yang memiliki kemampuan untuk memonitor dan meng-intercept data pada semua PC dengan OS Windows. Saat sistem ini masuk ke dalam PC korban, maka sang pengguna dapat memonitor 100 persen resource yang ada pada PC tersebut (Schwartau, 1998). Perusahaan pembuatnya,  CODEXDataSystem, mengklaim bahwa jika anda memiliki PC di rumah dengan OS Windows maka sangat kecil kemungkinan anda bebas dari DIRT.

Echelon

Echelon adalah alat mata-mata yang dahulu digunakan pemerintah Amerika bersama sekutunya, yakni Inggris, Kanada, dan New Zealand, dalam perang dingin (Cold War). Echelon bekerja dengan menggunakan berbagai fasilitas mulai dari satelit, pesawat terbang, kapal, radar, hingga alat interceptor komunikasi yang tersebar di seluruh dunia. Echelon bahkan dipercaya bisa menyadap seluruh sambungan telepon internasional, faks, e-mail, dan juga transmisi radio.

Karena kemampuannya yang tinggi dalam melakukan penyadapan, membuat Echelon mudah disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Sebagai contoh pemerintah Kanada pernah menggunakan Echelon untuk menyadap kedutaan Amerika di Ottawa. Dari hasil penyadapan tersebut, Kanada mengetahui adanya penundaan perjanjian dagang senilai 2.5 Milyar US$ antara Amerika dengan Cina. Akhirnya pemerintah Kanada memutuskan untuk menggunakan informasi tersebut dan mengambil proyek itu dari Amerika.

Tempest

Tempest adalah salah satu program pemerintah AS, yang dibuat berdasarkan prinsip bahwa seluruh alat elektronik memancarkan radiasi elektromagnetik level rendah yang bisa ditangkap dan kemudian ditampilkan. Tidak ada cara untuk mendeteksi apakah Tempest sedang melakukan proses penyadapan pada sebuah alat, dan hal tersebutlah yang membuat dewan pengadilan Amerika susah untuk membawanya ke meja hijau jika terjadi penyalahgunaan dengan alat tersebut.

Setelah mengetahui itu semua, saya sendiri jadi membayangkan. Jangan-jangan ketika saya mengetik blog ini, sudah ada agen NSA di luar sana yang sedang mengawasi.

Selama pihak berwajib yang menggunakan alat tersebut adalah orang yang lurus dan benar, kita masih bisa yakin bahwa data-data kita tidak akan disalahgunakan. Tapi bagaimana jika terjadi hal yang sama seperti Enemy of The State, dimana sang pemimpin NSA ternyata adalah otak pembunuhan dari anggota Dewan?

Siapa yang akan mengawasi orang-orang yang mengawasi dan memata-matai kita (NSA, FBI, dsb)? Dan siapa orang yang akan mengawasi sang pengawas tersebut?

Selama ini banyak yang berpendapat bahwa Knowledge Management dan Businesss intelligence adalah satu hal yang sama. Business Intelligence memang merupakan salah satu alat untuk mencari knowledge bagi perusahaan kita, namun ia hanya salah satu tools dalam penerapan Knowledge Management tersebut.

Data merupakan sumber informasi dan jika diolah dengan baik, informasi tersebut dapat menghasilkan knowledge yang berguna bagi perusahaan. Dan bagaimana perusahaan dapat memfiltrasi serta menganalisis seluruh data pada database, yang pada kenyataannya sangat-sangat transactional-based? Salah satu caranya adalah dengan menyusun ulang seluruh data tersebut ke dalam data warehouse dan menggunakan Business Intelligence sebagai user interface untuk menyajikan informasi akan hasil analisisnya.

Sebagai contoh adalah data tentang penjualan sales pada perusahaan tiap bulan-nya. Dengan menggunakan data warehouse perusahaan dapat mendapatkan informasi tentang bulan apa saja lonjakan sales terjadi, sehingga perusahaan memiliki knowledge untuk menambah stocknya tiap bulan tersebut. Bahkan tidak hanya itu, dengan BI dan juga data warehouse, perusahaan bahkan bisa melihat produk-produk apa yang laku di tiap lokasi penjualannya sehingga ia bisa memiliki Knowledge lebih akan tren pembelian berdasarkan tiap tempat, dan membuat promosi yang berbeda-beda di tiap lokasi penjualannya. Sungguh sebuah sistem yang sangat-sangat membantu perusahaan dalam mendapatkan knowledge.

Namun Knowledge Management lebih besar Scope-nya daripada itu. Selain mengelola Knowledge yang di dapat dari hasil transaksi perusahaan, Knowledge Management juga mengelola Knowledge yang ada di tiap individunya. Sebagai contoh ketika seorang IT Consultant resign dari perusahaannya, maka Knowledge-knowledge yang ada pada dirinya juga akan ikut ”resign” dari perusahaan jika perusahaan tidak menerapkan KM dengan baik.

Knowledge akan permasalahan-permasalahan yang pernah dialami dengan client beserta pemecahannya, knowledge akan bisnis proses yang ada pada client, dan juga knowledge akan module-module yang sudah dibuat akan hilang, jika sang Consultant tidak mewariskan knowledge yang dimilikinya kepada penerusnya sebelum ia resign. Hal tersebut tentunya tidak dapat dijangkau oleh Business Intelligence dan juga Data Warehouse.

Knowledge Management is more than BI, Data Warehouse, or any other tools. It’s a set of strategies and practices to influence the culture of an organization toward improved knowledge sharing, reuse, learning, collaboration and innovation.

sharing knowledge

share your knowledge!

SOA Resurrected

May 2nd, 2010

SOA is Dead

Anne Thomas Mannes, seorang Research Director dari Burton Group, membuat sebuah artikel yang berjudul “SOA is Dead, Long live  Services”. Mantan CTO (Chief Technical Officer) dari Systinet, salah satu perusahaan terdepan yang menyediakan tools SOA Governence, ini mengatakan bahwa sekarang SOA sudah menjadi “Bad Word” dikalangan pebisnis Amerika Serikat dan mereka sudah tidak percaya lagi bahwa SOA akan memberikan efek spektakuler seperti yang dielu-elukan selama ini.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Pada tulisannya Anne menggambarkan sebuah illustrasi berupa seekor dinosaurus yakni SOA yang akan tertimpa sebuah meteor.

Bila kita kembali ke masa lalu, dinosaurus disebutkan punah dikarenakan sebuah event besar, yakni jatuhnya meteor ke bumi. Hal itu pula yang ingin digambarkan Anne, bahwa kini SOA sudah punah dikarenakan sebuah event yakni krisis ekonomi di Amerika Serikat. Ia menyatakan bahwa kini kebanyakan perusahaan telah memotong dana untuk proyek SOA mereka. Hal ini dikarenakan mereka sudah lelah akan proyek SOA mereka yang nyatanya tidak memberikan efek yang lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi sebelum implementasi SOA. Belum lagi dana yang cukup besar yang harus dikeluarkan untuk proyek tersebut.

Ia juga menyatakan bahwa kebanyakan orang masih terjebak dalam debat “apakah ESB yang terbaik”, atau “Manakah yang lebih baik WS-* atau REST” dan lupa akan esensi sebenernya dari SOA yakni Services dan Architecture. Dan hal tersebut lah yang menyebabkan banyak perusahaan gagal mengimplementasikan SOA.

Lebih lanjut lagi menurutnya, walaupun term SOA akan lebih jarang digunakan dikemudian hari namun permintaan akan sebuah arsitektur yang menekankan pada service itu sendiri akan bertambah besar. Hal ini dikarenakan munculnya konsep-konsep lain yang berlandaskan Services seperti mash-up, SaaS, dan Cloud Computing, yang membawa revolusi di dunia IT.

SOA Resurrected, in Indonesia offcourse

Pendapat Anne sangat benar sekali, bahwa SOA sudah mati. Tapi hal tersebut terjadi di Amerika, setelah ekonominya runtuh dengan krisis yang terjadi. Buruknya iklim ekonomi membuat seluruh perusahaan di sana mengencangkan ikat pinggang, dan anda bisa menebak apa yang pertama kali dipangkas budgetnya? Benar sekali, investasi-investasi yang dinilai tidak memberikan return besar bagi perusahaan. Dan kurang beruntungnya lagi, investasi IT adalah investasi yang banyak memberikan keuntungan secara intangible (tidak dapat dilihat kasat mata, misalnya kemudahan dalam bekerja), apalagi SOA yang implementasinya memakan banyak waktu dan uang.

Di Indonesia sendiri, dampak dari krisis tersebut masih belum terasa sangat besar dan kata-kata SOA masih jarang terdengar di dalam perusahaan. Sentimen perusahaan akan teknologi yang bernama SOA pun masih belum terdengar, bahkan beberapa perusahaan Client tempat saya bekerja menanyakan info tentang SOA dan ada keinginan untuk mencoba-coba mengimplementasinya.

Belum lagi, hype akan Cloud Computing (Service Cloud) dan juga metode computing lain yang “berbau” service (Software as a Service, Platform as a Service, etc) tentunya akan membawa nama SOA, yang merupakan arsitektur utama untuk menjalankan metode computing tersebut tersebut.

Namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan mengenai positifnya pendapat perusahaan akan teknologi SOA tersebut. Yang menjadi penentu suksesnya implementasi SOA adalah bukan soal ESB apa yang kita pakai ataupun package SOA dari perusahaan mana yang kita pakai, melainkan bagaimana menyatukan konsep Bisnis perusahaan dengan IT ke dalam service-service. SOA is not about technological issues, but it’s about aligning IT with your business so they can walk side-by-side. And if all Indonesian company cannot deeply understand this issue, it’s not impossible that the same thing happened on USA, will be happening here.

Story

Setelah pada episode sebelumnya kita membahas mengenai Knowledge Management secara teori, pada kesempatan kali ini saya mencoba menceritakan mengenai pengalaman pribadi saya dalam salah satu bagian Knowledge Management, yakni Knowledge Transfer.

Suatu ketika saya ditugaskan oleh kantor saya untuk menggantikan seorang Senior Consultant di sebuah perusahaan financial terkemuka di Jakarta, sebut saja inisial perusahaan tersebut ACC (Astra Credit Company). Merasa senang sekaligus tertantang dengan tugas yang baru, saya pun bersemangat pada hari pertama saya ditugaskan ke Client tersebut. Namun sesampainya di sana, saya tidak langsung dihadapkan dengan kerjaan-kerjaan, yang saya kira, bakal menguras tenaga saya di hari itu. Hal itu dikarenakan semenjak hari itu dan 29 hari berikutnya kegiatan saya hanya berupa Knowledge Transfer, kata Senior saya.

Mendengar sebutannya yang keren (Knowledge Transfer), rasa penasaran dan ekspektasi saya akan aktivitas tersebut semakin besar. Kemudian setelah satu hari berlalu saya pun mengambil kesimpulan, bahwa Knowledge Transfer adalah “kegiatan yang membosankan”. Bayangkan saja, satu hari tersebut saya lewati dengam membaca dokumen-dokumen teknis dari seluruh program yang ada di ACC.

Hari kedua pun datang, dan rasa malas saya akan kegiatan kemarin membuat ekspektasi saya pada hari kedua berbalik 180 derajat. Namun ternyata nasib berkata lain, karena kegiatan saya sedikit tidak membosankan dibanding hari sebelumnya. Hari tersebut saya lalui dengan membuat simulasi program, setelah sebelumnya Senior saya menerangkan sedikit tentang konsep pemrograman pada PL/SQL Web, bahasa pemrograman yang digunakan di ACC untuk men-develop seluruh module Custom Oracle HRMS. Dan di akhir hari, senior saya pun mengadakan review akan apa yang sudah saya buat di hari itu dan apa yang akan saya pelajari berikutnya.

Hari-hari berikutnya pun saya lewati dengan kegiatan yang sama, yakni diskusi tentang konsep dan alur program yang ada, konsep pemrograman dan juga mencoba men-develop beberapa modul PL/SQL Web untuk menerapkan apa yang sudah didiskusikan sebelumnya. Dan diakhir bulan tersebut saya pun dapat menjawab pertanyaan bahwa sebenarnya proses Knowledge Transfer adalah update pengetahuan dari seseorang ke orang lain sehingga mereka dapat memiliki knowledge yang sama.

Bayangkan betapa kesulitannya saya, jika saya langsung dihadapkan dengan pekerjaan tanpa adanya proses pentransferan Knowledge tersebut. Bahkan saya sendiri merasa, bahwa satu bulan yang diberikan untuk proses Knowledge Transfer pun belum cukup karena kenyataannya masih banyak module-module yang belum diajarkan kepada saya.

Lesson Learned

Kemudian setelah beberapa bulan dilalui di sana, saya pun menyadari beberapa hal terkait knowledge management tersebut. Hal pertama bahwa senior saya sangat baik mewariskan banyak file yang dapat saya pelajari. Hal kedua bahwa seluruh file tersebut ternyata kurang berguna, karena tidak ada pengelompokan file yang benar berdasarkan module yang ada dan mana file yang masih dipakai dan mana yang tidak. Sebagai contoh, ketika saya ingin mengetahui seperti apa sih alur Sistem Perjalan Dinas Online, maka hal pertama yang saya lakukan adalah mencari technical maupun functional design-nya baru saya akan masuk ke coding. Namun saat masuk ke folder “File Anz” tersebut, saya hampir bisa menemukan 5 file dengan konteks yang sama atau kebingungan mencari di folder mana file tersebut berada, karena penamaan foldernya masih seperti “1 Juni 2010” untuk hampir lebih dari 30 folder yang berada di direktori tersebut (file Anz), belum lagi banyak yang masih memiliki sub-folder dengan penamaan yang sama (docs, 1-januari-2010, etc).

Pekerjaan utama saya di ACC adalah sebagai konsultan untuk me-support module Oracle HRMS, khususnya yang di-custom oleh ACC, dengan kata lain error dan debug adalah hal yang akan saya hadapi setiap harinya. Dan setelah 3 bulan berlalu, saya baru menyadari bahwa ada beberapa error dengan kode yang sama (misalnya error Unique Constraint : ORA 00001) dan cara pemecahan yang sama tentunya. Saya kemudian membayangkan, bagaimana jika ada sebuah file yang memuat seluruh list error yang pernah dialami seluruh konsultan Intelfast (perusahaan saya) lengkap dengan catatan how to solve-nya. Tentunya hal tersebut akan sangat membantu, khususnya ketika proses Knowledge Transfer.

Dari beberapa hal tersebut kemudian saya dapat mengambil kesimpulan, bahwa selain proses pentransferan Knowledge itu sendiri (diskusi dan juga simulasi) ternyata kita perlu mempersiapkan hal lain, yakni seluruh dokumentasi (file-file) yang juga berisi Knowledge yang akan di-transfer. Keseluruhan file tersebut tentunya harus dapat disusun secara teratur sehingga orang yang akan kita transfer ilmunya dapat mencari dan memahami Knowledge dengan mudah. Sebuah hal simple, yang ternyata jika dilakukan sangat besar manfaatnya terutama bagi penerus kita