SOA Resurrected

May 2nd, 2010

SOA is Dead

Anne Thomas Mannes, seorang Research Director dari Burton Group, membuat sebuah artikel yang berjudul “SOA is Dead, Long live  Services”. Mantan CTO (Chief Technical Officer) dari Systinet, salah satu perusahaan terdepan yang menyediakan tools SOA Governence, ini mengatakan bahwa sekarang SOA sudah menjadi “Bad Word” dikalangan pebisnis Amerika Serikat dan mereka sudah tidak percaya lagi bahwa SOA akan memberikan efek spektakuler seperti yang dielu-elukan selama ini.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Pada tulisannya Anne menggambarkan sebuah illustrasi berupa seekor dinosaurus yakni SOA yang akan tertimpa sebuah meteor.

Bila kita kembali ke masa lalu, dinosaurus disebutkan punah dikarenakan sebuah event besar, yakni jatuhnya meteor ke bumi. Hal itu pula yang ingin digambarkan Anne, bahwa kini SOA sudah punah dikarenakan sebuah event yakni krisis ekonomi di Amerika Serikat. Ia menyatakan bahwa kini kebanyakan perusahaan telah memotong dana untuk proyek SOA mereka. Hal ini dikarenakan mereka sudah lelah akan proyek SOA mereka yang nyatanya tidak memberikan efek yang lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi sebelum implementasi SOA. Belum lagi dana yang cukup besar yang harus dikeluarkan untuk proyek tersebut.

Ia juga menyatakan bahwa kebanyakan orang masih terjebak dalam debat “apakah ESB yang terbaik”, atau “Manakah yang lebih baik WS-* atau REST” dan lupa akan esensi sebenernya dari SOA yakni Services dan Architecture. Dan hal tersebut lah yang menyebabkan banyak perusahaan gagal mengimplementasikan SOA.

Lebih lanjut lagi menurutnya, walaupun term SOA akan lebih jarang digunakan dikemudian hari namun permintaan akan sebuah arsitektur yang menekankan pada service itu sendiri akan bertambah besar. Hal ini dikarenakan munculnya konsep-konsep lain yang berlandaskan Services seperti mash-up, SaaS, dan Cloud Computing, yang membawa revolusi di dunia IT.

SOA Resurrected, in Indonesia offcourse

Pendapat Anne sangat benar sekali, bahwa SOA sudah mati. Tapi hal tersebut terjadi di Amerika, setelah ekonominya runtuh dengan krisis yang terjadi. Buruknya iklim ekonomi membuat seluruh perusahaan di sana mengencangkan ikat pinggang, dan anda bisa menebak apa yang pertama kali dipangkas budgetnya? Benar sekali, investasi-investasi yang dinilai tidak memberikan return besar bagi perusahaan. Dan kurang beruntungnya lagi, investasi IT adalah investasi yang banyak memberikan keuntungan secara intangible (tidak dapat dilihat kasat mata, misalnya kemudahan dalam bekerja), apalagi SOA yang implementasinya memakan banyak waktu dan uang.

Di Indonesia sendiri, dampak dari krisis tersebut masih belum terasa sangat besar dan kata-kata SOA masih jarang terdengar di dalam perusahaan. Sentimen perusahaan akan teknologi yang bernama SOA pun masih belum terdengar, bahkan beberapa perusahaan Client tempat saya bekerja menanyakan info tentang SOA dan ada keinginan untuk mencoba-coba mengimplementasinya.

Belum lagi, hype akan Cloud Computing (Service Cloud) dan juga metode computing lain yang “berbau” service (Software as a Service, Platform as a Service, etc) tentunya akan membawa nama SOA, yang merupakan arsitektur utama untuk menjalankan metode computing tersebut tersebut.

Namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan mengenai positifnya pendapat perusahaan akan teknologi SOA tersebut. Yang menjadi penentu suksesnya implementasi SOA adalah bukan soal ESB apa yang kita pakai ataupun package SOA dari perusahaan mana yang kita pakai, melainkan bagaimana menyatukan konsep Bisnis perusahaan dengan IT ke dalam service-service. SOA is not about technological issues, but it’s about aligning IT with your business so they can walk side-by-side. And if all Indonesian company cannot deeply understand this issue, it’s not impossible that the same thing happened on USA, will be happening here.

Leave a Reply